Langsung ke konten utama

Yang Tak Sempat Terbalas

Matahari masih belum juga menyembunyikan sinar serta tubuhnya, padahal aku sudah tidak sabar untuk segera pergi ke airport. Yeah, penerbangan yang aku ambil akan berangkat sekitar 5 jam lagi. Aku yang sudah packing sejak semalam mengecek kembali apakah semua keperluanku sudah masuk koper atau bahkan ada yang seharusnya tidak diikutsertakan. Arloji berwarna pink yang sungguh girly yang melingkar di pergelangan tangan kiriku kembali kulirik untuk yang kesekian kali.
“Ah...! Cepetan donk! Cepet jam 18.00 kenapa sih? Ayolah matahari, tidurlah!!” aku berteriak-teriak dan tak bisa mengontrol emosiku, seorang diri di dalam kamar yang sebentar lagi akan aku tinggalkan.
Aku mengedarkan pandanganku ke seluruh penjuru kamarku. Kamar tempatku melepas penat, kamar tempatku menyendiri, kamar tempatku berimajinasi, kamar yang aku tempati sejak aku dilahirkan sampai aku lulus SMA. I love you my bedroom, muach!!
“Kakak! Ayo kita berangkat sekarang aja, ntar keburu adek pulang.” Ajak mama.
“Kan aku ambil penerbangan jam 18.00. kenapa berangkat sekarang?” tanyaku bingung.
“Penerbangan apa’an sih? Kalo mau jawab, makanya bangun dulu. Yuk! Hey, Sayang...sadar...”
“Hah!” aku tersentak.
Aduh, mimpi lagi! Aku kecewa untuk yang ketujuh kalinya. Aku sudah pernah mimpi seperti ini, dan ini adalah yang ketujuh. Oh my God! Sejak aku kenal seorang lelaki berkebangsaan Perancis dari facebook beberapa bulan yang lalu, aku jadi sering bermimpi akan pergi ke Perancis. Seperti yang terjadi dalam tidur siangku hari ini. Padahal aku mau pergi sama mama, tapi ngeresponnya ngelantur sampai ke penerbangan segala.
“Oh Tuhan, memangnya aku sama dia ngapain? Kan gak ngapa-ngapain, Cuma chatting doank, kok efeknya di mimpi segala. Berkali-kali pula -_-” batinku saat aku dan mama mulai masuk di area gym favorit kita. Mama dan aku emang suka nge-gym bareng pas weekend, kecuali pas adik rewel ngajakin ke Ancol.
“Tadi adek sama papa kemana sih, Ma?”
“Katanya sih mau ke Faris” jawab mama.
“Apa, Ma? Paris?
“F bukan P”
Kenapa sih aku ini, Tuhan? Kenapa otakku hanya terisi dengan negara itu sekaligus pernak-perniknya?
Awal aku mengenalnya adalah ketika aku berkomentar di sebuah status milik temanku yang gemar mengumpulkan teman bule, beberapa menit setelahnya sebuah pesan masuk di inboxku. Let me be your friend, kurang lebih dia bilang begitu padaku. Satu menit setelah dia menambahkan aku di friendlistnya, aku mengkonfirmasinya. Aku tidak begitu kaget, senang, ataupun bangga memiliki teman seorang bule. Toh kita sama-sama mahluk ciptaan tuhan. Aku merasa tak ada yang spesial darinya, biasa aja.
Setiap hari facebookku tak pernah sepi dari like, komentar, bahkan pesan darinya. Sempat juga dia mencoba untuk video call tapi aku tak menghiraukannya. Rasanya aku ingin meremovenya dari friendlistku, tapi dia gak bikin salah, hanya saja dia terlalu perhatian sama aku dan aku risih karenanya, aku gak boleh sembarangan removing orang meskipun sebenarnya aku punya hak sepenuhnya untuk melakukannya.
Suatu hari sepulang sekolah, aku sengaja mampir ke toko buku di pusat kota. Hari itu temen-temen pada nitip buku untuk bahan tugas, katanya sekalian mumpung aku pergi jadi mereka mempercayakannya padaku meskipun sebenarnya aku sedikit keberatan. Bayangin aja, pulang sekolah, capek, suruh angkat-angkat banyak buku pula. Karena aku hanya seorang cewek biasa seperti pada umumnya yang tidak sekuat Wonder Woman, Cat Woman, Lara Croft atau siapalah, cukup berat untukku membawa buku-buku setebal 380 halaman perbukunya itu. Seluruh tenaga aku kerahkan untuk membawa buku-buku ke kasir, dan akhirnya it’s time to take’em home!   
Bruk!!
Astagfirullah hal adzim...” ucapku.
Pas mau keluar toko, kayaknya bakalan mulus tapi ternyata gak kayak yang dibayangin. Apes! Seorang lelaki menabrakku di pintu bookstore. Lelaki yang tinggi, putih, mancung, rambutnya pirang, dan...apa!! Aku benar-benar gak nyangka kenapa laki-laki perancis itu bisa ada di Jakarta.
“Arina?” sapanya, dan dia juga terkejut.
“Jacques France? Kok?” aku yang lebih terkejut waktu itu.
“Aku kuliah di Jakarta, semester terakhir. Finally kita bisa ketemu, yeay! Eh, ma’af udah nabrak kamu” dia minta ma’af dan langsung memungut buku-bukuku yang berserakan di lantai.
Aku berharap itu pertemuan pertama dan terakhirku dengannya. Aku berharap dia tidak membaca nama sekolahku yang tertera di seragam yang aku kenakan. Aku berharap dia tidak berusaha menemukanku berikut dengan alamat rumahku. Aku berharap dia segera menyelesaikan kuliahnya dan segera pulang ke negara asalnya. Dan aku berharap dia tidak ingat aku lagi. Tapi semua harapan itu kosong. Semua harapan itu hancur.
Setelah pertemuan yang cukup mengenaskan di toko buku, ternyata ada kejadian yang lebih mengenaskan lagi. Dia suka datang tiba-tiba di sekolah karena diam-diam dia membaca seragamku, dia suka ngirim-ngirim hadiah ke rumah, dan anehnya lagi dia punya nomer ponselku. Sungguh mengenaskan!
“Kemarin lusa ada bule berdiri di depan gerbang sekolah yang nanyain alamat rumah kamu plus nomer HP kamu loh” beritahu salah seorang temanku.
“Terus kamu kasih gitu aja tanpa konfirmasi ke aku dulu?”
Uh-huh
“Iya, bagus! Makasih yah! Kenapa dikasih? Itu kan privasi -_-”
“Dia bilang dia sodara kamu yang dari luar negeri, dia harus ke rumah kamu karena ada kepentingan mendesak dan dia juga butuh nomer HP kamu” jelas temanku.
“Bener, dia dari luar negeri tapi dia bukan sodara aku!! Bisa-bisanya sih dia bohongin kamu?!” kadar emosiku naik.
Aku gak habis pikir dia bisa segitunya sama aku. Segitu pedulinya sama aku. Segitu baiknya sama aku.
J’aime” ucapnya tiba-tiba ketika aku berniat untuk menyuruhnya pergi dari pintu gerbang sekolahku.
Aku hanya diam dan aku langsung pergi meninggalkannya. Aku masuk ke kelas, tapi sebenarnya aku mengintip dari jendela kelas, dengan begitu aku bisa melihat kalo dia benar-benar pergi. Dari kelas aku melihat dia memberikan bingkisan sebelum akhirnya dia pergi. Seorang adik kelas berjalan menuju kelasku sambil membawa bingkisan dari si bule.
“Dari bule yang tadi, Kak.” Beritahunya sambil menyodorkan bingkisan itu kepadaku.
“Makasih ya..” responku. Aku tidak merasakan apa-apa.
Aku membawa bingkisan itu pulang, aku letakkan di rak buku. Aku membiarkannya tetap utuh tak tersentuh sampai beberapa hari. Sejak hari itu aku tak mendapatkan sms, telepon, ataupun sebuah pesan fesbuk darinya. Pak pos juga tak pernah datang lagi untuk mengantarkan kiriman-kiriman konyol darinya. Si bule tak pernah ke sekolahku lagi. Aku tidak pernah bertemu dia lagi, sekalipun itu di jalan. Aku sempat merasa bingung dan merasa tak biasa. Aku merasa seperti seseorang yang kehilangan. Seharusnya aku senang, karena harapan-harapanku menjadi kenyataan. Tapi, aku malah gak bisa tersenyum sepeninggalnya.
Aku gak pernah peduli sama dia, padahal dia selalu peduli akan diriku. Aku selalu menghindar dan meninggalkannya, aku selalu mengabaikannya, aku tidak pernah menganggapnya ada padahal dia selalu berusaha untuk hadir di setiap waktuku, aku menganggap dia nobody of mine padahal aku somebody buat dia. Aku mungkin selalu menyakiti perasaannya, selalu membuangnya, aku tak pernah menghargainya. Aku menyesal telah memperlakukannya seperti itu. I want to apologize before he goes to his own country.  Aku harus minta ma’af. Sebelum itu aku harus membuka bingkisan darinya dulu. Bingkisan terakhir yang aku terima, bingkisan yang aku terlantarkan. Sebuah miniatur menara Eiffel berukuran 20x30 cm kutemukan disana. Di bagian alasnya ada tulisan Désolé. Au revoir!
“Apa?! Dia minta ma’af dan mengucapkan selamat tinggal?!”
Deg! Rasanya jantungku berhenti berdetak, nadiku berhenti berdenyut, darahku berhenti mengalir, otakku berhenti berfikir, oksigen tak bisa kuhirup dan karbondioksida tak bisa kuhembuskan, nafasku macet, lambungku berhenti bekerja, mataku berhenti berkedip, tubuhku berhenti bergerak, aku terbujur kaku. Aku seperti zombie yang terkena taburan kokain di film india Go Goa Gone, diam mematung.
Aku mencoba menghubungi nomor Indonesianya, tapi sayang nomer itu tidak aktif. Aku membuka akunku, siapa tahu dia mengirim pesan padaku. Oh, God! Dia sudah tak ada di friendlistku. Namun, dia meninggalkan satu pesan.
Seseorang berhenti mencintai bukan karena dia sudah tak sayang lagi, namun dia berhenti mencintai karena cintanya tak pernah dianggap.
“Sejahat itukah aku?” batinku menangis mengingat yang aku lakukan beberapa waktu lalu.
“Enggak kok” jawab seseorang dari kejauhan.
Ah! Dia menjawab orang lain, bukan aku. Suara itu sepertinya aku kenal. Tapi kan dia udah gak ada. Gak mungkin itu dia.
“Gak ada yang gak mungkin” ada jawaban lagi dari suara yang sama. Tapi lagi-lagi dia menjawab orang lain, bukan aku. Sosok itu keluar dari ruangan lain, dia berjalan menuju ruang ganti.
“Jacq!” kutahan tangannya.
Sorry, who are you?” tanyanya.
“Secepat itukah kau lupakan aku? Aku Arina.”
“Oh Arina? Iya, ma’af...”
“Kamu gak perlu minta ma’af, seharusnya aku yang minta ma’af. Selama ini kamu lakuin banyak hal buat aku, dan aku gak pernah menghargainya.”jelasku padanya.
“O.K” jawabnya sungguh singkat dan dia lekas masuk ruang ganti dan pergi.
“Ma, aku pulang duluan ya! Ada kepentingan mendadak” ijinku pada mama dan aku segera mengejar Jacq, lelaki yang pernah mengejarku beberapa waktu lalu.
Untuk yang kedua kalinya aku bertemu dengannya setelah lumayan lama aku kehilangan jejak, setelah kita tak terhubung. Aku ingin membalas semua perhatiannya, aku ingin mempedulikannya, aku ingin bisa menyayanginya. Aku mengikutinya bagai mata-mata, ternyata dia tinggal tak jauh dari tempat nge-gym. Aku melakukan apa yang pernah dia lakukan sebelumnya padaku. Aku mencari tahu dimana dia kuliah, aku mencari tahu nomor ponselnya, aku mencari tahu tempat-tempat favoritnya, dan aku mencari tahu seluk beluk tentang dirinya.
Namun seolah tuhan memberitahuku bagaimana perasaannya dulu terhadapku setelah dia melakukan semuanya tapi tak ada satupun yang aku hargai. Mati-matian aku peduli, tapi tak ada respon baik dan tak ada feed back. Sakit, sedih, kecewa, itulah yang aku rasakan. Tuhan membaliknya. Tuhan menempatkan aku di posisinya dan menempatkan dia di posisiku.
“Ternyata begini ya rasanya...sakit...” tanpa sadar butiran-butiran air mata jatuh membasahi pipiku.
Aku sudah peduli sama dia, tapi dia tidak lagi. Aku selalu mendekatinya lantas dia menghindar. Terkadang aku merindukan kehadirannya seperti dulu, tapi dia tak pernah ada lagi. Dulu aku menjadi sosok yang penting untuknya, tapi sekarang tidak. Justru aku yang menganggap bahwa dia penting. Aku tak berarti lagi dalam hidupnya. Haruskah aku berhenti menggarami air laut? 
Merci. Selama ini kamu udah baik sama aku. Sebenarnya aku tidak pantas mendapatkan semua ini, seharusnya aku...” dia berterimakasih.
“Jacq, aku akan lakuin semua yang udah pernah kamu lakuin ke aku. Je t’aime” aku memeluknya, untuk yang pertama kali.
I love you back” dia membalas pelukanku.
Aku bahagia bisa membalas kebaikannya. Aku bahagia bisa menjadi bagian dari hidupnya. Kita selalu ada satu sama lain. Jacq ada untukku, dan aku ada untuknya. Apa yang pernah dia lakukan dulu, dia lakukan lagi. Apa yang akhir-akhir ini aku lakukan, aku lanjutkan. Tiada hari tanpa dia.
Next day tanpa memberitahu dia dulu, aku ke kampusnya. Aku sengaja tak muncul di hadapannya, aku mau bikin kejutan pas dia pulang. Aku bisa melihatnya tapi dia tidak bisa menemukan aku. Aku menitipkan bingkisan pada juniornya, sama seperti yang dia lakukan padaku dulu.
“Aku minta tolong donk, Kak. Nitip ini untuk Jacques France di sana!”
“Ma’af, Jacques France yang mana ya? Anak jurusan apa dan semester berapa?” tanyanya tak tahu.
Engineering, semester terakhir. Bule di gerombolan itu loh, Kak!” tunjukku ke arah Jacq.
“Oh itu bukan Jacq, tapi Louis. Louis Degaldo. Dari Perancis juga sih, tapi dia bukan anak engineering, dia masih baru kok jadi aku gak tau dia ambil jurusan apa yang pasti bukan yang kamu sebutin barusan.” Jelasnya.
“Ya udah deh, gak jadi. Makasih ya, Kak”
Jacques France atau Louis Degaldo? Aku tidak tahu sebebenarnya namanya siapa. Aku merasa bahwa seseorang telah membohongiku. Segera aku melangkahkan kakiku menuju padanya. Aku berdiri di belakangnya dan melafalkan sebuah nama yang masih asing bagiku.
“Louis Degaldo!”
“Yes?” dia menoleh ke belakang dan terkejut setelah melihatku. Wajahnya berubah menjadi seperti orang yang tertangkap basah melakukan kesalahan.
Comment vous appelez vous, Jacques France or Louis Degaldo?
I am Jacques, sorry maksudku Louis. Aku sama dia kembar, jadi sama aja kan?”
Je ne comprends pas.” Jawabku dengan bahasa perancis yang diajarkan sepupu yang artinya aku tidak mengerti.
“Aku nemuin diary Jacq, dan di situ banyak menceritakan tentang kamu. Awalnya aku hanya penasaran dengan yang namanya Arina, tapi setelah kamu melakukan semuanya untukku aku jatuh cinta sama kamu. Oke, aku Louis dan bukan Jacq, tapi aku bisa seperti Jacq.” Jelasnya.
“Aku yakin Jacq gak tau apa yang udah dilakuin sodara kembarnya!!” marahku padanya.
“Memang” jawabnya nyantai. Hal itu membuat emosiku meninggi.
Au revoir! Bonne journée!” Selamat tinggal! Semoga harimu menyenangkan! Aku pergi meninggalkannya.
Inilah sebabnya kenapa saat bertemu denganku di tempat nge-gym dia gak tahu aku. Bukan lupa, tapi memang dia gak tahu. Jadi selama ini aku membuat hubungan dengan orang yang sebenarnya aku sendiri gak kenal sama dia. Dia bukan orang yang dulu pernah peduliin aku. Dia orang yang berbeda meskipun mereka kembar. Tapi kenapa aku gak bisa membedakan antara keduanya? Mungkin karena dulu aku gak pernah peduliin Jacq. That’s why aku salah orang.
Setelah aku tahu kalo dia bukan Jacq, aku jadi menyesal dan kecewa. Niatnya aku ingin membalas kebaikan Jacq, bukan menanam benih kasih sayang menyebalkan kepada orang yang tak dikenal. Aku tak mau peduli lagi sama dia, dia pun begitu. Sekalipun kita berpapasan di jalan ataupun di tempat lain, kita seperti tak pernah kenal. I am his nobody and he is my nobody. Saatnya aku bilang “Thanks and bye...”   
www.hipwee.com


                                                                                                My Room, 3rd July 2015
                                                                                                             
Story by. Mila
Title by. Kai
Jacques France name by. My Cousin, Tika
            Louis Degaldo name by. G. Cool 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

A Star is Born PERSIS Aashiqui 2 ? I CAN'T BELIEVE THIS! (Review Film) *Spoiler Alert!

facebook.com/astarisborn2018 hindimusickaraoke.com Baiklah, sebenarnya berat untuk saya menulis ini, tapi saya akan tetap menulisnya sebab ini penting. Film A Star is Born , yang diperankan oleh Lady Gaga dan Bradley Cooper, film 2018, film yang saya ketahui pertama kali lewat lagunya di youtube yakni Shallow (saya suka sekali lagu itu), film yang saya pikir akan menjadi film yang sangat mengesankan buat saya. Tidak ada air mata. Tidak ada hati yang berdebar. Sejak adegan pertama, yakni Jackson menghilangkan kesadarannya sebelum bernyanyi, bernyanyi di atas panggung dengan ribuan bahkan mungkin jutaan penonton di depannya, hati saya berkata “Wah, ini mah kayak film Aashiqui 2,”.  Jika kalian belum menonton film Lady Gaga ini, dan sudah menonton film Aashiqui 2, atau mungkin kalian menemukan tulisan saya ini lalu mencari tahu tentang segalanya, baru menonton A Star is Born setelahnya, maka saya rasa kalian juga akan merasakan hal yang sama seperti saya.

Bekerja Niat Ibadah

Di sini aku tidak bermaksud menggurui siapapun ya, seperti yang sudah pernah aku bilang bahwa I’ll share what I’ve known, jadi kuharap kalian bisa mengerti maksudku. Kita bisa menjadi seperti sekarang ini semata-mata karena Allah, kan ya? Semua sudah diatur. Bagaimanapun kamu mengelak pernyataanku ini, aku tidak akan mengiyakan. Kita sekarang masih hidup di dunia, entah sampai kapan tidak ada yang tau. Memikirkan masa depan itu perlu, emang sangat perlu. Kebanyakan yang kita pikir itu masa depan yang mana sih? Ngaku! Berapa persen dunia dan berapa persen akhirat? Oke, aku juga nggak mau munafik, keknya aku khawatir banget dengan masa depan duniaku, dan masih seringkali tidak terlalu mengkhawatirkan masa depan akhirat meskipun selalu berusaha untuk lebih mempersiapkan ke sana sih, cuma ya mungkin dosaku masih terlalu banyak, jadi masih seperti ini. Makanya, aku ngajak kalian untuk inget, seenggaknya biar aku dapat poin dari Allah gitu. Kita ini hidup pada zaman yang suda

Ekstrovert dan Introvert

Ekstrovert Ekstrovert adalah tipe kepribadian yang menyukai interaksi dengan dunia luar. Ekstrovert cenderung lebih banyak beraktifitas dan lebih sedikit berpikir. Orang dengan tipe ini memiliki ciri-ciri sebagai berikut: Antusias Banyak bicara Tegas Suka berteman bersemangat