Judulnya aneh banget ya, haha biar
kamu tertarik untuk membacanya... (*kalo enggak, emang mungkin saya tidak
menarik untukmu T_T).
Ini kali pertama saya ngisi KRS
(Kartu Rencana Studi), padahal sudah semester 2. Loh, kok?
Iya...semester pertama dianuin admin siii. Saya tidak pernah memikirkan ini
sebelumnya. Lalu, pada suatu hari, teman-teman saya bilang “ntar ngisi KRSnya
bareng ya! Biar barengan terus.” Saya ingin tertawa kala itu, sebab kenapa
harus begitu, apakah ada kemungkinan kami tidak akan menjadi satu kelas, apakah
kami harus berebut kelas, de el el.
Dan ternyata sempat panik sedikit
(setelah mengetahui bagaimana ngisi KRS tuh, dan yah emang rebutan, apasih)
saat mengikuti acara EFORSTU (Education For Students) yang diadakan oleh
HIMA Public Relations di kampus saya bulan lalu. KRS dibuka tanggal
sekian mulai pukul 00.00, jika terlambat sedikit saja nih, maka kelas-kelas
akan penuh.
Pada suatu malam, saya dan 3 orang
teman saya menyusun KRS bersama, kami menginap di salah satu rumah teman
tersebut. Saya dijemput teman yang sama-sama kerja di Jakarta Pusat. Pukul
20.30 kami baru mulai jalan menuju Kebon Jeruk, Jakarta Barat melewati jalanan
Jakarta yang sudah tidak terlalu sesak, yeah lumayan lengang lah. Teman
saya mampir dulu ke rumahnya, untuk ambil sesuatu, dan saya masih bersamanya.
Saya dikenalkan kepada ayah dan ibunya. “Kamila nih, Bu. Kamila nih, Be.” kata dia.
Saya salim cium tangan, dan saya baper. Di Jakarta saya memang jarang salim
cium tangan, beda sekali seperti saat di kampung. Dulu. Dulu oh dulu, kenapa
ada kata “dulu” di dunia ini. “Dulu” itu membuat sedih, karena saat ini hanya
bisa mengingatnya dan menceritakannya saja.
Hati saya ngenes. Rasa ingin itu
muncul bak tunas pohon pisang, tanpa ada yang menanam, main muncul aja ke
permukaan. Ibu-ibu identik dengan daster, dan emak saya juga suka memakai
daster. Rasa rindu itu makin meninggi. Teman saya hanya pulang sebentar, pun
dulu saya sering melakukannya saat di rumah, di kampung. Pulang hanya untuk
mengambil sesuatu, pulang hanya untuk makan, atau sekedar mampir, lalu pergi
lagi. Meskipun hanya sekelabat saja melihat wanita yang melahirkan kita itu,
tapi hal tersebut sudah lebih dari cukup. Entah mengapa.
“Aku mau ke rumah temen”, “aku mau ke pantai sama temen-temen”, “temenku ngajak main, boleh ya?”, “aku mau ngerjain tugas, ntar nginep di rumahnya”, “besok temen-temenku ke sini”. Kata kita.
“Ya udah, ati-ati”, “nggak makan dulu?”, “lebih enak sholat dulu baru pergi“, “terserah kamu, tapi ati-ati, jangan pulang terlalu larut”, “Iya...”, “Boleh-boleh aja”, “Jangan ngebut”, “Jaga diri ya”. Kata orang tua kita.
Itu semua singkat. Tapi sungguh nikmat. Apalagi ditambah salam dan salim.
pinterest.com |
Setelah selesai, lalu ke rumah teman yang
satunya di mana kami menginap. Dan itu merupakan kali kedua saya bertemu dengan
sosok seorang ibu (pas keesokan paginya, saat saya akan pulang).
“Ini nih, Bu... Kamila, yang anak
Banyuwangi itu.” Saya dikenalkan kepada ibunya yang sedang memasak. Saya salim
cium tangan (kayaknya).
“Nggak nunggu sarapan dulu?” tanya
ibunya. Dan itu yang akan selalu ditanyakan emak kepada teman maupun saudara
saya yang menginap di rumah kami.
“Enggak, Bu. Saya mau kerja,” ojek online
sudah menunggu saya di depan masjid At-Taqwa (yang kata abangnya At-Tagwa).
Saya pun kerja dengan diliputi rasa
rindu akan emak yang menggebu. Semuanya jadi terbayang. Yeah, kenangan masa
dulu saat saya masih di kampung. Sekian.
Salam Anak Rantau!
Komentar
Posting Komentar
You may say anything about me, because it is your right. And i also may say anything about you, because it is my right.