Hari ini hari Sabtu, seperti biasa,
aku dan masku berangkat kerja pakai mobil. Masku berniat tak lewat tol, sebab
beberapa kali terakhir ini kami selalu menggelindingkan ban di jalan bebas
hambatan berbayar itu. Tapi, ternyata banyak truk raksasa yang memenuhi jalan
dan bikin macet, akhirnya kami putar balik, lalu lewat tol.
Hari Sabtu tol yang selalu kami
lewati saat berangkat kerja sepi, lengang sekali. Dadaku bergemuruh, tanganku
gatel ingin memegang kemudi. Aku sudah berulangkali meminta masku untuk
mengajariku bagaimana menyetir mobil yang baik dan benar, tapi apalah daya,
tiada hari untuk itu. Senin sampai Sabtu, kami kerja. Hari Minggu biasanya aku
bangun siang, lalu masku akan mengajak anak istrinya liburan yang kadang aku
ikut kadang enggak.
“Mumpung lagi sepi, please aku ingin nyetir. Tanganku gatel
pengen nyetir.” Pintaku pada masku.
“Yakin bisa?” Oke, pertanyaan ini
tidak salah sebab masku belum melihat skill
mengemudi adiknya ini seperti apa.
“Bisa. Kan udah pernah,” masku memang
belum melihat skillku, tapi sudah
tahu kalau aku pernah mengemudikan mobil.
Akhirnya, masku menekan tombol
darurat, dia turun, aku turun, yap kita tukar posisi. Rasa deg-degan tidak ada,
cuma karena masku itu tipe orang yang super tegas dan cepat, aku nervous dikitlah karena itu.
asalasah.com |
Ini kali ketiga aku pegang kemudi. Yang
pertama, pakai mobil manual milik tempat kerjaku, diajarin Pak B yang rambutnya
gondrong nan putih itu, diajarin maju mundurin mobil dan menyeimbangkan
antara
pedal kopling dan gas. Serius, itu susah karena aku tidak bisa mengendarai
motor kopling. “Kalau bisa motor kopling, belajar ini nggak akan terlalu sulit
buat kamu,” kata Pak Gondrong. Oh sayangnya aku tidak pernah menyentuh kopling
motor.
Pak B sambil gemeteran ngajarin
akunya, pas dia mau megang tanganku aja nih (mindah-mindah gigi) dia minta maaf
mulu. Akhirnya sebentar doank karena Pak B ada sesuatu lain yang harus
dikerjakan, lagi pula, kami belajar di tempat parkir yang mana banyak mobil
mahal sekelas Fortuner yang terparkir di sana. Kalau ketabrak, siapa mau tanggung jawab ,
haha.
Kalau aku tidak salah ingat, pada
hari itu juga, aku minta diajarin mobil lagi.
Ya Allah ni anak ya!
Serius aku tuh bener-bener pengen banget
bisa nyetir mobil dengan baik dan benar sebab aku yakin itu akan sangat berguna
bagi nusa, bangsa, Negara, agama, serta keluarga.
Salah satu security di tempat kerjaku jago banget nyetir mobil, sebut saja
Bang A. Nah, hari itu juga aku minta diajarin lagi, yakni sama dia, bukan sama
Pak B yang gemetaran tadi.
“Ayo, tapi maju mundurin aja dulu
ya, jangan turun ke jalan dulu,” kata Bang A.
“Iya, Bang.” Aku mematuhinya.
Mobil sudah siap menghadap Selatan,
siap kujalankan dengan amatir, wahaha. By
the way, Bang A lebih cocok jadi guru menyetirku daripada Pak B. Dia tuh
mengayomi gitu. Jadi, puluhan kali aku melancarkan maju-mundur mobil di
parkiran. Kalau maju, posisi itunya (apa sih ya namanya) di huruf apa, pas
mundur di huruf R, de-el-el. Susah euy pake mobil manual, harus menyeimbangkan
kaki kanan dan kiri, satunya perlahan diangkat satunya lagi perlahan didorong,
seharian itu aku ngafalin.
Itu hari pertama, pelajaran dasar
sudah kudapat, tinggal mengasahnya lebih sering lagi. Sebenarnya mobil yang aku
pakai itu masuk dalam kategori yang nggak enak. Nggak lama setelah itu, mobil
diganti yang otomatis dari pusat, lebih enak (katanya), tapi lebih tua juga
sih. Mobil lama.
Yang kedua, pakai
mobil (masih mobil di tempat kerja karena emang belajarnya tuh di tempat kerja
juga) automatic yang ngajarin masih
Bang A, pada hari Sabtu sepulang kerja, menjelang magrib.
“Bang, ajarin mobil lagi donk, please…”
“Ya udah, ayo La! Mana kuncinya?”
Semua sudah siap, aku masuk mobil,
pun dia.
“Matic, Bang?” tanyaku, karena belum pernah duduk di balik
kemudinya, dan tidak menyangka kalau mobil tua ada yang otomatis juga, kupikir
hanya yang muda aja yang pedal dua, hehe.
“Ya iya, kamu kira apa? Langsung
turun ke jalan, ya La?” tawarnya padaku.
“Apa, Bang? Turun ke jalan? Lah,
aku belum pernah, ntar gimana, aku masih belum bisa rasain mobil.” Aku berusaha
menolak.
“Ini matic, gampang.” Kata Bang A.
Sebelumnya aku sudah maju-mundur di
parkiran, hanya perlu menggunakan kaki kanan, tidak mikir, yang diperlukan
hanya merasakan body mobil. Apalagi coba
yang perlu dipelajari di parkiran penuh mobil mahal itu kalau tidak langsung
praktik turun ke jalan?
Kalau yang pertama kali turun ke
jalan itu, aku deg-degan banget, takut. Hal yang baru buatku. Tapi, aku gembira
sekali bisa melakukan hal tersebut. Kala itu aku masih kaku (mungkin sekarang
juga masih kaku), jadi mobil diset
darurat, hahaha. Pelan banget aku, setir ke mana-mana, roda nggak stabil. Takut
nabrak orang. Pemotor kan nyelap-nyelip, ketabrakpun, mobil yang akan dimintai
tanggung jawab.
Kami menyusuri Jl. Jaksa menuju Jl.
Wahid Hasyim, lalu belok ke kiri mengarah ke gereja, banyak mobil berhenti di
badan jalan (acara di gereja kayaknya), aku harus ekstra hati-hati karena
pengendara motor juga nggak bisa dikatakan sedikit, muterin gereja lalu lewat
Jl. Sabang yang super macet karena di situ merupakan kawasan kuliner, lalu Jl.
Kebon Sirih Timur, dan akhirnya balik lagi ke Jl. Jaksa, masuk pelataran tempat
kerja, dan markirin juga. Markirin mobil, aku perlu waktu sekitar 10 menit,
hehe lama ye, padahal orang-orang yang udah jago 30 detik aja cukup, ckckck.
“Aduh kenapa jadi panjang sekali ceritaku, padahal kan intinya aku mau
ngasih tau kalau aku nabrak trotoar gitu doank. Karena kurasa ini nyambung,
jadi mulainya dari mana bisa kayak gini, ya perlu aku kasih tau, masak
ujug-ujug langsung nabrak kan nggak lucu gitu.”
Yang ketiga, pagi ini.
Aku nyetir di jalan tol yang lengang. Kan ada 3 lajur, kata masku jangan pindah-pindah
lajur seenaknya tanpa liat spion, bisa-bisa ntar ditubruk loh, kecuali aku udah
jago, boleh pindah-pindah lajur sesuka hatiku.
“Mobil ini lebih enak daripada
mobil wisma,” kataku. Emang bener, aku udah lumayan bisa rasain body mobil, kalau mobil wisma jan blas
bingung rasanya, hehe.
“Emang mobil wisma nggak enak
banget, aku aja kalau nggak kepaksa nggak akan make,” beritahu masku.
Kecepatan minimum di tol itu
60km/jam, kalau kurang dari itu, ntar dicurigai polisi. Bener-bener aku
gembira. Aku suka mobil. Aku suka nyetir mobil. Saking pengennya, seringkali
aku menulis tokoh dalam cerita itu adalah perempuan yang jago bawa mobil. Aku serius.
Pengalaman pagi ini bener-bener berharga. Mahal harganya. Sumpah aku nggak tau
bagaimana menggambarkan kebahagiaanku. Melayang di udara aku. Aku nyetir di
kota metropolitan. Rasa deg-degan udah nggak ada. Lewat terowongan Senen aku
juga sudah.
Kemudian pas di lampu merah Capitol
Suite, hatiku berkata untuk udahan. Awalnya aku ragu, ah ngapain udah sih. Tapi,
lampu merah lumayan lama, cukup kalau tukeran posisi lagi sama masku.
“Udah ya, tukeran lagi.” Aku menoleh
ke masku.
“Nanggung ah, dikit lagi nyampe. Sampai
masuk wisma,” dia seperti mengirimkan energi padaku.
Oke, nggak jadi tukeran. Aku melanjutkan
menyetir.
Nah, pas di belokan Tugu Tani,
entah kenapa ya, emang udah garisnya kali ya, soalnya kan tadi hatiku udah
bilang untuk “udahan”, pas belok (kanan) aku tidak mengembalikan setir ke
semula, aku tetap membelokkan roda ke kanan padahal masku udah bilang “balikin,
balikin,”, dan akhirnya “gubrak”, ban sebelah kanan jatuh, nabrak trotoar. Aku langsung
berhenti. Masku menekan tombol darurat, dia turun. Aku mau turun, tapi aku
tidak bisa membuka pintu. Aku geser aja tanpa keluar. Akhirnya pintu bisa
kubuka.
“Keburu ada polisi,” kata masku
sambil langsung menggerakkan mobil lagi.
“Udah dibilang balikin balikin,
malah kanan mulu,” omel masku.
“Kalau tadi ada polisi, bisa kena
pasal berlapis nih,”
“Kenapa gitu?” tanyaku ingin tahu.
“Ya karena ngasih izin orang yang
belum punya SIM untuk mengendarai mobil, nabrak fasilitas umum, kan trotoar
termasuk fasilitas umum. Untuk belajar feeling
kamu belajar Bom-bom Car aja dulu,” jelas masku.
“Di mana?”
“Ya di Mall,”
Aku hanya diam. Tak mampu
berkata-kata, duh.
Aku tidak gemetar, tidak takut. Detak
jantungku normal. Mungkin karena aku benar-benar ingin bisa. Namanya belajar,
salah itu lumrah, malah kurasa pasti akan salah dulu. Dari situ, aku bisa
ngambil pelajaran banyak sekali. Suatu saat, berusaha untuk tidak mengulanginya
lagi. Itulah belajar.
Aku jadi tau mana untuk nyalain
lampu sein, nyalain pembersih kaca
pas hujan (apa namanya sih, hoho, asli nggak sengaja), mana buat ngebuka
pengunci pintu, bagaimana untuk mempertahankan mobil di satu lajur, bagaimana
kalau mau pindah lajur, bagaimana kalau belok (posisi roda harus gimana, stir
diputer gimana, harus dibalikin kapan), bagaimana cara belok yang lembut,
banyak deh pokoknya pelajaran dalam waktu kurang lebih satu jam tadi itu. Meskipun
toh pada akhirnya harus berhenti karena
nabrak trotoar yang menyebabkan velg
baru masku tergores -_-. I am sorry.
Oh ya, pesan buat kalian semua, jangan abaikan kata hati.
Pagi ini adalah pengalaman yang
sangat mengesankan buatku.
Ada yang pernah ngalamin peristiwa
serupa?
Komentar
Posting Komentar
You may say anything about me, because it is your right. And i also may say anything about you, because it is my right.