publikana.com |
Beberapa hari yang
lalu Mr. Zuhri, yang masih ada hubungan keluarga denganku (meskipun agak jauh)
a.k.a guru bahasa indonesiaku di SMK mengirimi pesan facebook padaku. Aku diberitahu olehnya bahwa ada Workshop Jurnalisme
Warga #2. Kapan yang #1? Sudah waktu
itu, dan aku tak bisa ikut karena sepupu yang kuajak tiba-tiba membatalkannya, so aku tidak ingin pergi sendiri,
meskipun toh lebih dekat daripada workshop yang ke-2.
Untuk yang ke-2, sebenarnya aku juga bingung harus
mengajak siapa. Aku mencoba menghubungi sepupuku yang waktu itu. Aku sms dan
juga berkali-kali kutelpon, satupun tak ada yang direspon. Aku juga
menghubunginya di facebook, sudah kukirim pula selebarannya. Namun, tetap tak
ada balasan. Aku menunggunya hingga malam tiba (malam
sebelum workshop). Tetap kosong. Aku tidak tahu apa yang terjadi dengannya.
Mungkinkah dia diopname lagi? Entahlah. Berulang kali aku berpikir, antara ikut
atau tidak. Kalau “tidak”, aku akan kehilangan kesempatan emas untuk
mendapatkan ilmu dari dunia yang aku cintai itu (dunia yang berbau
tulis-menulis serta fotografi, dan pastinya imajinasi), kalau “iya”, dengan
siapakah aku harus berangkat? Ke Jajag untuk menghadiri acara yang sebelumnya
belum pernah aku ikuti.
Akhirnya, setelah menimbang-nimbang cukup lama, aku
putuskan untuk daftar malam itu juga. Pukul 06.41 sms kukirim ke nomor Mas
Taufiq dengan sebelumnya aku meminta ijin pada ibu. Awalnya ibuku berkata
tidak, karena aku akan berangkat sendirian. Namun, setelah kurayu-rayu akhirnya
aku mendapatkan “iya” darinya. Alhamdulillah.
Hari H tiba, aku berangkat pukul 8 pagi kurang
sedikit. Sendirian. Sepanjang jalan aku merasa jantungku berdetak lebih cepat
dari biasanya. Aku gugup. Begitulah saat aku akan menghadapi hal baru. Aku juga
tidak tahu kenapa.
Jam 9 kurang aku sudah sampai di Jajag, tepatnya
kediaman sepupuku. Sengaja memang aku mampir dulu, sebentar. Aku sms Mr. Z,
memberitahukan bahwa aku sudah ada di dekat pertigaan patung penyu (dekat rumah
sepupuku), dan menanyakan apakah Mr. Z sudah di lokasi workshop atau belum. Aku
mendapat jawaban “Iya, baru nyampe” darinya. Lekas aku menuju lokasi juga.
Radio Bintang Tenggara (RBT), Jajag. Di situlah Workshop Jurnalisme Warga #2
diadakan.
Motorku masuk pelataran RBT, dan penglihatanku
langsung menangkap sesosok laki-laki yang sedang asik memotret bangunan RBT di
dekat sebuah sedan berwarna merah. He is
Mr. Zuhri with his car! Yeah, right! Suasana masih sepi. Benar. Akulah
peserta yang datang pertama. *baru sekali
datang pertama aja bangga! :D
Jujur ya, sebelumnya aku tidak pernah ikut kegiatan
semacam workshop, seminar, atau apalah itu. Berhubung aku suka dengan yang
dibahas, dan juga lembaga pendidikanku memintaku untuk menjadi jurnalis di sana, akupun bersedia untuk ikut WJW.
Untuk pertama kalinya aku bertemu orang-orang baru
yang hanya dalam hitungan jam sudah bisa membuat aku begitu bahagia, dan merasa
menemukan duniaku yang sesungguhnya. Aku tidak ingin berhenti. Selagi aku masih
di Indonesia (kan aku juga pengen belajar di luar negeri kayak Ms. Nae nih...), aku akan berusaha untuk selalu hadir (wong cuma sekali sebulan, kok).
Tenang saja, ISHOMA tak akan keteteran kok. Tepat
waktu. Malah, bisa di awal waktu. Enak
banget kan? Sebenarnya kalau menurut jadwal, workshop dimulai jam 09.00
sampai 15.00. Tapi, berhubung jamnya terbuat dari karet :D, agak molor sedikit
ya. Sedikiiiiiit kok. Untuk mengganti kemoloran itu, akhirnya acara bubar jam
16.00. Tidak apa, setengah jam cukup bagiku menempuh Jajag-Siliragung. Iya,
kalau cuaca bersahabat. Sayangnya, pas kami bubar, hujan yang sudah turun sejak
beberapa menit sebelumnya belum reda juga. Kami menunggu.
16.30 hujan tak kunjung reda jua. Agar tak
kesore-an, aku manfaatkan untuk berterimakasih pada Tuhan dulu. Setelah
selesai, di luar masih gerimis. “Nggak apalah nekat, daripada langit udah gelap
aku masih di jalan,” pikirku. Semua orang di workshop pulang. Ada yang konvoi
(barengan pulangnya, motor berjejer-jejer), ada juga yang hanya berdua, dan aku
peserta yang paling ujung selatan pulang sendirian. Berangkat sendiri, pun
pulang. Sebenarnya aku bisa dibilang bareng sama 2 peserta laki-laki yang
boncengan sih, soalnya aku di belakangnya. Salah satu dari mereka yang pernah
jadi TKI sukses di Korea itu. Mereka belok di rumah yang ada baner bertuliskan
“Kursus Bahasa Korea” sedangkan aku terus saja melaju.
“Mampir, Mbak…” begitulah yang diucapkan salah
seorang dari mereka.
“Korea? Ya, annyeong haseo…” balasku dalam hati.
Perjalananku ke rumah masih lumayan panjang. Aku
belum melewati daerah Pedotan, Ringintelu, Sukorejo, namun hujan makin deras
saja. Jalanan lumayan tergenang, hampir mirip dengan banjir di ibukota. “Tidak
mungkin aku berteduh. Mau sampai kapan?” pikirku. Sudah banjir, membuat laju
motorku agak tertahan, ditambah lagi truk-truk bau yang bergerak sangat lambat, membuat aku dan beberapa pengendara motor di
belakangnya seolah terkena efek slow
motion seperti dalam video-video yang pernah aku edit.
“Oh, God! Isi tasku penting!” buru-buru aku berteduh
sebentar guna mengeluarkan isi tasku dan memindahkannya ke dalam jok. Kupikir
tasku tak akan basah sampai ke dalam, ternyata…terlambat sedikit saja, bisa
berabe. Hp, pen cam, 2 digital cam, 2 novel, beberapa lembar kertas artikel
yang kudapat dari blog Ms. Nae, jam tangan, dan yang terakhir adalah uang.
Semua sudah berpindah meskipun sudah lumayan basah.
Tas yang sudah tidak membungkus benda-benda penting, aku gunakan sebagai
perisai (baca:pelindung) dadaku.
Berhubung kecepatanku lumayan cepat-karena aku ingin
magrib di rumah-, aku tidak sengaja mencipratkan air dan mengenai pengendara
motor yang aku dahului. Dia pun berteriak, “Woy!!”. “Sorry,” balasku dalam
hati. Sepertinya itu suara bapak-bapak. Sampai sekarang, aku juga masih
bingung, seringkali mereka yang berteriak di jalanan adalah orang tua,
khususnya bapak-bapak. Bisa tidak mengerti sedikit saja dan berprasangka baik?
Tidak mungkinkan, aku sengaja melakukannya? Dan aku yakin, orang-orang yang
pernah melakukan seperti apa yang telah aku
lakukan, pasti juga tidak sengaja. Namanya juga hujan, banyak orang, simpan
sajalah teriakanmu. Toh, itu tak akan membuatku berhenti. Maaf loh ya.
Hujan semakin menjadi. Kaca helm kubuka, karena jika
tidak, aku tidak bisa melihat jalanan dengan jelas. Apalagi ditambah kacamata
minusku yang berembun setiap kali aku terguyur hujan. Rasanya seperti aku
menyetir dengan keadaan mata tertutup. Jika aku melepasnya, akan lebih parah.
Jika tidak kulepas, aku hanya akan bisa melihat cahaya. Waktu itu aku hampir
menabrak gerobak, karena dia tidak ada lampunya. Untung saja aku pelan. Lumayan
terkejut sih. Dalam situasi seperti itu, terkadang ingin sekali aku memiliki
mata normal. Tidak apalah, ini lebih keren. Seperti di film-film saat tokohnya
menginginkan sesuatu, dia akan rela melakukan apapun, sekalipun itu sedikit
berbahaya. Aku mencintai menulis, fotografi, yang tercover dalam jurnalistik,
dan aku bahagia berada bersama mereka di workshop, jadi, tidak apa aku
kehujanan (tapi jangan hujan terus, hehe).
Sesampainya di rumah, aku memasukkan motor, dan di
sana ada ibuku. “Jam segini baru pulang, udah besok-besok nggak boleh lagi.”
Ucap ibuku.
Jleb! Seperti ada sesuatu yang menancap di hatiku.
Ah, aku sangat terkejut. Langsung saja aku berkelit. “Kan masih hujan, ini aja
nekat.” Ibuku menimpali lagi, “ditelpon nggak diangkat”. Dengan spontan aku
menjawab, “emang belum selesai, kok.”
Aku jadi takut. Bagaimana jika workshop berikutnya
aku tak boleh ikut? Aku tahu kenapa ibuku berkata seperti itu. Karena aku pergi
sendirian. Biasanya, saat aku pergi bersama kakak iparku, sepupuku, urusan
sekolah, intinya aku pergi bersama orang yang dipercaya ibuku, pulang jam
berapapun tak akan jadi masalah. Tengah malam sekalipun. Sungguh. Masalahnya,
saat aku pergi sendirian, tak ada yang bisa dihubungi selain aku. Iya kalau aku
mengangkat telepon darinya, nah kalau tidak? Salahku juga sih kenapa tidak
angkat L.
Aku bukan tipe orang yang terbuka sih. Jadi, susah
untuk menjelaskan bahwa aku cinta menulis, aku cinta fotografi, aku cinta
workshop jurnalisme warga, paling aku hanya menulisnya di blog seperti ini,
intro di facebook, dan akun lain.
Aku harap, ibuku akan segera lupa dengan “Jam segini
baru pulang, udah besok-besok nggak boleh lagi,” nya. Dan aku juga berharap,
workshop selanjutnya tidak lebih jauh dari yang ke#2. Allah, aku menyerahkannya
padaMu. Terserah Engkau. Yang pasti, aku makasih banget untuk semuanya. Aku
bahagia Ya Allah, aku bahagia. Çok
tesekkur ederim!!!
Komentar
Posting Komentar
You may say anything about me, because it is your right. And i also may say anything about you, because it is my right.