Mungkin Anda terkejut membaca judul yang saya tulis. Anda berpikir
bahwa saya kurang ajar, tidak memiliki sopan santun, atau bahkan hal terbesar
yang ada dalam benak Anda tentang saya adalah saya gila. Saya tidak peduli
dengan anggapan orang lain terhadap saya. Karena bagaimanapun bentuk anggapan
itu, tidak akan membuat tubuh saya berdarah ataupun terluka. Kecuali jika Anda
datang kepada saya kemudian menghajar saya karena Anda tidak terima dengan apa
yang saya tulis, mungkin juga Anda memanggil polisi atau FBI kemudian mereka
menembaki saya kemudian tubuh saya berlubang-lubang bak daun yang dimakan ulat,
atau Anda akan meminjam tank kemudian melindas tubuh saya. Entahlah.
Saya harap Anda tidak melakukan itu semua kepada saya, karena yang akan saya
bicarakan tidak seperti yang Anda pikirkan.
Kenapa saya mengatakan bahwa guru tidak untuk ditiru, padahal
kebanyakan orang mengatakan bahwa guru adalah pahlawan tanpa tanda jasa? Dalam
bahasa jawa juga di-identik-kan bahwa sosok guru adalah sosok yang wajib digugu
lan ditiru (dianut dan ditiru). Kenapa saya mengatakan seperti itu?
Itu semua memang berlaku. Tapi, dulu. Dulu semasa ibu saya kecil,
mungkin. Saya tidak akan mengatakan bahwa semua guru pada era sekarang tidak
untuk ditiru. Tapi, saya juga tidak akan menyatakan bahwa guru sekarang harus
ditiru. Pada zaman dahulu, orang-orang yang memiliki gelar guru adalah
orang yang memang benar-benar pantas dipatuhi perintahnya dan ditiru segala
tindak tanduknya. Mereka sangat hati-hati menjaga imagenya sebagai
pendidik. Dan hal itu berhasil membuat anak didiknya menjadi pribadi yang baik
karena mengikuti jejaknya.
Lyceum.id |
Saat ini? Hanya sebagian kecil saja guru yang benar-benar menjadi
pendidik. Hanya segelintir saja yang bisa kita contoh. Sekarang, dengan
mudahnya siapapun bisa menjadi guru. Saya, Anda, ataupun mereka. Untuk yang
belum berpredikat PNS, mereka masih banyak yang sungguh-sungguh mengajar agar
kelak segera menjadi PNS. Namun, ketika sudah menjadi PNS, banyak yang tak
serius mengajar karena bagaimanapun setiap bulan dia tetap mendapat gaji dari
negara. Itu dari sisi kesehariannya di dalam kelas.
Yang lebih miris lagi adalah ketika ujian nasional, justru guru
mengajari muridnya untuk melakukan hal-hal yang sebenarnya tidak pantas dilakukan.
Menyontek, membeli jawaban, membocorkan soal (entah dapat darimana), dan hal
serupa. Pernah terjadi di daerah saya (tapi bukan sekolah saya), berita ini
tersebar dari mulut ke mulut, bahwasanya ada satu sekolah yang membeli jawaban
kemudian semua murid dianjurkan untuk memakai jawaban tersebut, hanya ada
segelintir siswa (kurang dari 5) yang tidak memakainya, karena mereka lebih
percaya pada kemampuannya sendiri. Pada akhirnya, apa yang terjadi? Ternyata
kunci jawaban itu salah, sehingga membuat mereka yang menganutnya tidak lulus.
Dan selamat untuk mereka yang tidak memakainya. Merekalah yang lulus.
Saya yakin alasan mereka menyediakan kunci jawaban adalah agar
murid-muridnya lulus dengan nilai yang baik, sehingga hal itu akan mendongkrak
nama baik sekolah beserta guru-gurunya. Mereka hanya terlalu jaim. Mereka takut
disebut guru yang gagal.
Lebih parahnya lagi, hal itu diajarkan sejak di sekolah dasar. Saya
tidak bermaksud membeber keburukan dunia pendidikan di Indonesia, namun
bagaimanapun juga semua pasti sudah
mengetahui sisi gelap yang dimiliki negara tercinta ini. Sebenarnya, bukan
hanya dunia pendidikan saja yang gelap, namun saya tidak akan membahasnya.
Cukup dunia pendidikan saja, dan itupun sudah lumayan menyakitkan.
Menyakitkan? Apa hubungannya denganmu, Mil?
Bukan hanya menyakitkan untuk saya saja, tapi seluruh masyarakat
yang peduli dengan Indonesia─meskipun kepedulian itu terkadang tidak terlihat.
Kami ingin negara kami menjadi negara maju seperti negara-negara yang lain.
Kami sudah berusaha menjadi warga negara yang baik, patuh, berusaha untuk
selalu berkata jujur, tidak melakukan suatu kecurangan, ya...kami berusaha
untuk menjaga image masyarakat Indonesia yang terkenal baik dan ramah
serta sopan santun itu. Tapi, apa kami mampu mempertahankan jika tak diimbangi
dengan masyarakat yang lain?
Sebenarnya saya tidak pernah memikirkan untuk menulis hal semacam
ini, namun beberapa waktu yang lalu ada seorang siswa SD yang masih dalam masa
tenangnya menjelang UN yang menanyakan hal yang cukup mengusik dan membuat saya
penasaran.
“Mbak Mila dulu waktu SD disuruh contekan, nggak?” tanyanya
tiba-tiba.
“Huh? Kenapa nanya gitu?” aku mencoba mengalihkan pembicaraan,
namun gagal.
“Ya..pokoknya disuruh, nggak?” pertanyaannya seolah memburuku.
“Enggak. Tapi, dilarang pelit sama temen. Gitu aja. Kenapa, kamu
disuruh?”
“Enggak...”
“Halah..ngaku! Disuruh contek-contekan, ya?”
“Sebenernya nggak boleh ember, tapi aku cuma ngasih tau Mbak Mila
aja. Jangan kasih tau siapa-siapa ya kalo aku ngasih tau tentang ini?”
“Siap...”
Dia pun menceritakan semuanya, serinci-rincinya (karena terus saya
interogasi). Saya benar-benar merasa geram setelah mendengar cerita itu. Ingin
sekali rasanya saya melaporkan oknum-oknum guru tersebut. Dalam satu sekolah
itu, ada beberapa guru yang menyuruh para murid untuk melakukan hal yang pada
hakikatnya dilarang dilakukan saat ujian. Ya, menyontek.
Tapi, apa? Apa yang mereka ajarkan pada anak-anak yang masih belum
terlalu pandai membedakan mana yang benar dan mana yang salah itu? Selama 6
tahun mereka mengajarkan murid-muridnya berbagai pengetahuan, dan mungkin juga
etika. Dan hanya untuk 7 hari ujian, mereka rela menjadikan murid-muridnya cheaters.
Apakah tidak ada murid yang berontak? Mereka juga mengancam akan menempeleng
bagi mereka yang tidak mau bekerja sama saat ujian. Murid SD mana yang berani
jika sudah diancam seperti itu? Yang membocorkan rencana busuk ini juga akan
diberi pelajaran olehnya. Nah loh!
Saya bocorkan cara mereka melakukannya. Mereka dibagi menjadi 2
bagian, dan mereka akan dipisah. Katakan saja ruang 1 dan ruang 2. Dalam ruang
1, diletakkan beberapa anak yang pintar (perempuan), begitu juga dengan ruang 2
(laki-laki). So, yang bekerja serius di sini hanya yang dirasa pintar saja.
Kemudian, setelah ruang 1 selesai mengerjakan, akan ada seorang murid yang
meminta ijin untuk ke kamar mandi (tentunya sambil membawa kertas yang berisi
jawaban), dan dia akan menyelipkan kertas itu entah di sisi mana bagian kamar
mandi. Lalu anak itu kembali ke kelas. Setelah sekitar 2 menit, seorang anak
laki-laki dari ruang 2 akan meminta ijin untuk ke kamar mandi juga. Dia
mengambil jawaban yang sudah dikirim si anak perempuan sebelumnya. Anak
laki-laki itu membawa jawaban ke ruangnya, dan berbagi dengan teman-temannya.
Selesailah misi mereka. Berbahagialah guru mereka. -_-
Tidak hanya itu yang akan saya bocorkan. Saat ujian mapel
matematika, guru meminta siswanya untuk mencatat beberapa rumus dalam sebuah
buku kosong yang nantinya akan digunakan sebagai buku untuk menghitung saat
ujian berlangsung. Ini namanya bikin contekan! Wah, parah! Alhamdulilah
ini terjadi bukan pada era saya. Ah, terimakasih Allah!
Apa yang kalian pikirkan sekarang? Apa yang sedang kalian rasakan?
Sedih, marah, kecewa, biasa saja, atau mungkin senang?
Untuk apa sebelum UN mereka mengadakan istigotsah (pengajian) untuk
mendoakan murid-muridnya? Untuk apa?! Agar menyonteknya lancar? Ah, saya yakin
para orang tua murid tidak tahu akan hal ini, jadi mereka tetap istigotsah
dengan serius.
Tuhanku! Sampai kapan Indonesia akan terus begini? Siapa yang
memulai perbuatan konyol ini? Tinggal berapa persenkah guru yang pantas disebut
sebagai pendidik yang hakiki?
Untuk semua guru─entah itu guru TK, SD, SMP, SMA─ dan juga dosen
yang tetap pada koridor yang benar, saya berterimakasih banyak karena telah
mempertahankan image pendidik yang baik. Semoga mereka yang mengajarkan
kecurangan segera disadarkan, dan bagi yang jujur semoga terus diberi kekuatan
untuk terus menjadi pendidik yang baik dan benar.
I love you, Teachers. You are great!!!
Komentar
Posting Komentar
You may say anything about me, because it is your right. And i also may say anything about you, because it is my right.